Artikel Xavier Quentin Pranata, “Pujangga
Pengagum Kristus Asal Libanon” (BAHANA, No. 7/
Januari 2003), menarik bagi saya. Mengapa?
Karena selama ini kalangan Kristen di Indonesia
sangat jarang mengenal penyair Kristen Arab dari
Libanon itu. Menariknya, Gibran justru lebih dikenal
di kalangan Muslim.
Bulan Ramadhan kemarin, syair-syair Gibran juga muncul
di layar TV di sela-sela ceramah K.H. Abdullah Gymnastiar.
Episode terakhir sinetron Sephia juga ditutup dengan syair-
syair cinta pujangga yang lahir dari keluarga abuna
(sebutan pendeta di gereja-gereja Arab).
Perlu dicatat, Gereja Maronit adalah satu di antara
gereja-gereja rumpun Syria ( Syriac Christianity ),
yang masih mempertahankan bahasa Aram, bahasa
yang juga digunakan Kristus ( al-lughat as-Sayid al-
Masih ). “Injil adalah kesusasteraan Syria”, tulis
Gibran membanggakan warisan spiritual Gereja
Syria itu, “…dan bahasa Syriac/Khaldea adalah
bahasa yang paling indah yang dibuat manusia”.
Ternyata pula, “bahasa Yesus” ini telah mem
perdalam ekspresi dalam karya-karya Gibran. Saya
memberanikan diri untuk menyebut, Gibran adalah
penyair Arab terbesar yang menerima warisan
Kristen Syria, setelah Mar Efraim As-Suryani (wafat
373) yang dikenal dengan “Sang Kecapi Roh
Kudus”.
Yasu’ al-Mashlub : Yesus Yang Disalib
Kahlil Gibran bukan hanya pengagum berat Yesus
orang Nazareth, tetapi juga pengikut setia-Nya
sampai akhir hayatnya. Hal itu harus dikemukakan,
meskipun ia sangat muak dengan hierarki gereja,
yang dikritiknya habis-habisan sejak karya pertama
nya dalam bahasa Arab: Ara’is al-Muruj (Bidadari
Lembah), sampai karya terakhirnya dalam bahasa
Inggris The Wanderer (Sang Musafir). Gibran
mengkritik gereja dan negara, karena mereka
kerasukan roh pemujaan diri, kekuasaan dan
kekayaan yang tamak, segala bentuk ta’ashub
(fanatisme sempit), ekstremisme dan ketidakadilan.
Negara dalam hal ini, dinasti ‘Ush-maniyyah Turki
“mengibarkan bendera Islam” untuk menjajah ne
gara-negara Arab, termasuk Syria dan Libanon. Hal
yang sama ironisnya juga dipraktikkan justru oleh
mereka yang mengaku diri sebagai pengikut Yesus.
Tetapi yang patut untuk dicatat, bahwa kritiknya
yang sangat pedas dan tajam itu, khususnya dalam
karyanya al-arwah al-mutamarridah (Semangat
Pemberontak), justru semua itu diilhami oleh peng
hayatannya yang mendalam pada sosok yang
paling dipujanya, Yesus Sang Juru selamat. Dalam
kritiknya kepada “status quo” lembaga gereja,
misalnya, Gibran tidak bisa membayangkan,
bagaimana kita bisa membangun gereja dan biara
yang megah dengan kebun anggurnya yang luas,
sementara rakyat di sekelilingnya mendiami gubuk-
gubuk reot dan hidup menderita dalam kemelaratan
mereka. Kesalehan ritual diserangnya tak kalah
pedasnya. “Mereka mengangkat suaranya dengan
himne-himne pujian, tetapi memuliakan dirinya
sendiri terhadap tangisan dan rintihan pedih janda-
janda dan anak-anak miskin”. Karena itu, tulis
Gibran dalam al-Ajnihah al-Mutakassirah (Sayap-
sayap Patah):
Laa tad’u kahina ila janabi faraasyi, lianna
ta’azimahu laa takfaru ‘an dzunubi in kanat khatha
wa tasara’ bi ila al-janati in kanat bara. “Kamu
tidak perlu mengundang pendeta untuk berdoa di
samping tempat tidurmu ini, karena mantera-
manteranya tidak akan kuasa menghapuskan dosa
dan kesalahanku apabila aku melakukan kesalahan,
dan tidak mempercepat jalanku menuju ke surga
apabila aku melakukan perbuatan baik”.
Kahlil Gibran menemukan kunci kebahagiaan dari
ketidakberdayaan dan kemiskinan itu, justru dari
Khotbah Yesus di atas Bukit: Thubi lil masakina
biruh i, fainna lahum malakut as-samawat.
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah,
karena mereka akan memiliki Kerajaan surga” (Mat
5:3).
Sebagai seorang pujangga dan penyair, Gibran juga
menyerap semangat zaman mo-dern, tak terkecuali
ia juga membaca The Life of Jesus- nya Ernest
Renan, dan Zarathustra- nya Friedrich Nietzsche.
Namun kekagumannya kepada Nietzsche sama
sekali tidak meredupkan api cintanya kepada Yesus
yang terus menyala.
Pandangan “nihilisme metafisik” Nietzsche yang
memproklamirkan kematian Allah itu, ternyata pada
saatnya sangat mengusik jiwa religius dan rasa
ketimurannya. “Hakadza takallama Zaradusyta
(Demikianlah sabda sang Zarathustra)”, kata Kahlil
Gibran yang toh tetap terobsesi dengan “Manusia
Perkasa” ciptaan Nietzsche. Sebab bagi Gibran,
“Manusia Perkasa” itu tidak lain adalah Yesus
orang Nazareth. Simaklah, argumen Gibran dalam
syairnya Yasu’ al-Maslub (Yesus Yang Disalibkan):
Maa Aasya Yasu’a miskina kha’ufan, wa lam yamut
matuja’an, bal aasya tsa’ara wa shuliba
mutamaridan, wa mata jabaran. “Yesus tidak per
nah hidup dalam kemiskinan dan ketakutan. Ia
tidak pernah mati dalam penderitaan, tetapi Yesus
kaya raya. Ia disalibkan sebagai seorang pahlawan
perang, dan Ia wafat sebagai seorang patriot
perkasa”.
“Yesus sadar akan kekuatan-Nya”, tegas Gibran
dalam karya Inggrisnya Jesus The Son of Man ,
“dan Ia telah membuktikan-Nya di antara bukit-
bukit Galilea, di kota-kota Yudea dan Funisia”.
Dikeluhkan pula rasa mual seolah mengocok
perutnya, ketika ia mendengar orang menggambar
kan Yesus sebagai seorang yang lemah dan tidak
berdaya.
Penekanan Kahlil Gibran bahwa Yesus sadar akan
kekuatan-Nya, agaknya memang untuk menjawab
bahwa “sosok Manusia perkasa” itu bukan impian
Nietzsche belaka. Dia ada dan pernah hidup dalam
panggung sejarah nyata. Bagi Gibran, Yesus adalah
pribadi paling kuat dalam sejarah. “Hubungan
Socrates dan pengikutnya lebih bersifat mental”,
katanya, “tetapi para murid Yesus lebih merasakan
Ia selalu hadir ketimbang sekadar meresapi ajaran-
ajaran-Nya”.
Itulah misteri yang terus menerus mempesona
Gibran. Sebab sampai ajal menjemputnya, mungkin
pujangga Libanon itu tetap tak dapat mengeja
tuntas misteri tentang Dia dalam syair-syairnya. Te
tapi ia menikmati misteri itu, bahkan tenggelam
dalam samudera-Nya. “MemanggilNya Tuhan
terasa menjadi enteng,” tulis Suheil Bushrui,
mengutip pengalaman Gibran.
Karena itu berbeda dengan Nietzsche yang di pun
cak frustrasinya mengusir Tuhan dari hidupnya,
karena dianggap menghalangi otonomi diri manusia
untuk bebas dan berkuasa, sekalipun Gibran
mengkritisi praktek-praktek kemunafikan dan
kebejatan birokrasi gereja, dia justru semakin dekat
dengan Yesus, dan ia begitu yakin bahwa Pahlawan
dari Nazareth itu akan menjawab munajatnya:
“Andhur ya Yasu’ an-Nashiri, al-jalisu fii qalbi
da’irat al-nur al-‘aliy (“Pandanglah, O Yesus orang
Nazareth, yang bersemayam di pusat cahaya
tinggi),” serunya kepada Yesus dalam Yuhanna al-
Majnun (Yohanes si Gila), “Andhur, ayyuhar ra’iy
ash shalih, qad nah syata makhalibu wa hausyan
dhulu’ al-hamala adh-dha’ifu al-dzaiy hamalatuhu
‘ala mankabaik” (Pandanglah, O Gembala Yang
Baik, betapa hewan-hewan ganas itu telah
mencabik-cabik tulang belulang domba-domba
kurus dan lemah yang Kau panggul sendiri di kedua
pundak-Mu).
Pada hemat Gibran, kenikmatan berkuasa telah
membuat orang bisu, tuli, dan buta terhadap
penderitaan sesama. Dan itu juga berlaku di gereja.
Lalu Gibran mengadukannya kepada Yesus, betapa
rintihan perih orang-orang yang menderita dari
sudut-sudut gelap, tak didengar oleh para
mutakalim (teolog) di atas mimbar dan para
penguasa yang duduk di atas singgasana mereka.
“Ta’ala tsaniyati, ya Yasu’ al-Hayyi (Datanglah
kembali, Oh Yesus Yang Mahahidup”, tulis Gibran
selanjutnya, “wa idhrad ba’at ad dini min haikalika,
faa qad ja’aluha maghlur tatawa fiiha af’aa
rawaghuhum wa ih-talahum” (lemparkanlah para
penjual agama itu dari Bait Suci-Mu. Sungguh,
mereka telah menjadikan Bait Suci-Mu laksana lo
rong berliku dengan ular besar menghadang, dan
ular itu adalah tipuan mereka belaka.”
Katakan saja Laailaha ilallah , dan engkau tetap seo
rang Kristen!
Ungkapan di atas ditulis Gibran dalam bukunya
Iram Dzat al Imad (Iram, Kota dengan Tiang-tiang
Besar). Judul ini dipinjam Gibran dari sebuah ayat
dalam al-Qur’an yang menggambarkan kaum ‘Ad.
Orang Kristen tak perlu takut mengucapkan Laa
ilaha ilallah (cf. I Kor 8:4, teks Arab). Allah tidak
bisa dipenjara oleh tembok-tembok pemisah
agama. “Allah yang Mahabaik tidak mengenal
perpecahan dalam kata-kata dan nama-nama,”
kata Gibran menekankan kesatuan transendental se
mua agama.
Meskipun begitu, jiwa universalitasnya itu ternyata
tidak pernah menggeser sedikit pun posisi Yesus da
lam jiwanya, karena ia memahami kehadiran-Nya di
mana-mana. Dalam bahasa para penganut filsafat
perenial sekarang, Gibran telah mengalami “pas
sing over” (melintas batas) dalam penghayatan a
gama. Dalam semangat mencari kebenaran yang
lapang, Gibran menyelam jauh ke samudera hikmat
tanpa batas. Ia mendasar Qur’an, dan bersama Ru
mi ia mendendangkan “agama cinta”. Bersama
para yogi India ia “duduk bersila memahami Upanis
had”. Gibran membaca dari mana saja, dan tentang
apa saja. Tetapi akhirnya, ia toh “coming back” ke
pada Yesus, Sang Pahlawan dari Nazareth itu.
Mungkin, mengikuti para mistikus Kristen, dengan
spiritualitasnya yang “melintas batas” itu, sang
pujangga tidak lagi terlalu memandang baju, tetapi
isi. Bukan simbol, tetapi hakikat. Sebagaimana ia ru
panya memahami Kristus mahahadir secara kosmis
—juga di balik simbol agama yang berbeda-beda—
begitu pula ia memahami makna muslim secara
generik sebagai sikap “pasrah diri, berserah kepada
Ilahi”. Dan ketika kemarau kerontang
menggersangkan pepohonan di “Bukit Cedar ( Araz)
Tuhan,” dengarlah bagaimana ia merintih pedih
dalam syairnya Mata ahli ‘alash shalib (Bangsaku
telah mati di salib):
“Mata ahli alash shalib, matu lianahum lam yakunu
mujrimin. Matu lianahum lam yadhlumudh dhalimin,
matu lianahum kanu muslimin. “Bangsaku telah
mati disalib. Mereka mati bukan karena mereka
menjadi penjahat. Mereka mati bukan karena
mereka orang-orang-orang dzalim. Mereka mati
justru karena mereka muslim, orang yang pasrah
diri”.
Bukankah itu substansi atau intisari agama yang
sebenarnya? Ya, pasrah diri kepada Ilahi. Gibran
mengangkat simbol kemusliman itu justru dari
Yesus dan Jalan Salib-Nya? Baginya, salib Yesus
adalah “model” sikap pasrah diri yang paling sem
purna. Sebagai manusia ia taat kepada Bapa-Nya.
“Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,
bahkan mati di kayu salib” (cf. Flp. 2:6). “Bukankah
Ia merentangkan tangan-Nya di atas salib demi
merangkul kemanusiaan?”, tulisnya dalam Yuhana
al-Majnun (Yohanes si Gila).
Dan meneladani Yesus, lalu ia memproklamasikan
kasih tanpa batas dan persaudaraan dengan semua
orang. Menapaki Thariq al-Alam atau Via Dolorosa-
Nya, Gibran merangkul semua orang sebagai
saudara-saudari dalam cinta dan sebagai sesama
anak-anak Allah.
Jesus The Son of Man : Apakah Gibran mengakui
Keilahian Yesus?
Jesus The Son of Man, puncak mahakarya Gibran
dalam bahasa Inggris, dapat disebut sebagai
kristalisasi dari visi karya-karya Arabnya
sebelumnya mengenai sosok Yesus orang Nazareth
sebagai “badai yang menggelora”, yang menurut
beberapa kritikus telah diilhami oleh sebuah
intensitas yang melebihi bukunya The Prophet
(Sang Nabi).
Bagaimanakah perkembangan gagasan mengenai
Yesus pada karya terakhir Gibran yang sering
mengundang salah paham, khususnya
penekanannya pada aspek kemanusiaan-Nya?
Memang cukup sulit menyejajarkan pandangan
Gibran dengan rumusan kristologi tertentu.
Mengapa? Sebab Gibran berbicara soal Yesus
bukan dalam “bahasa dogma” yang baku dan kaku,
melainkan dengan “bahasa hati, getar lembut
nurani, dan percakapan jiwa” yang selalu hidup, dan
akan selalu terus mengalir, tidak pernah kering.
Justru karena alasan tersebut di atas, kita tidak
selalu mudah menangkap bahasa Gib-ran.
Misalnya, seperti salah satu tulisannya yang pasti
gampang mengundang salah paham. “Setiap
seratus tahun sekali”, kata Gibran “Yesus dari
Nazareth bertemu dengan Yesus orang Kristen di
taman sekitar bukit Lebanon. Keduanya berbin
cang-bincang lama, dan setiap kali Yesus dari
Nazareth mengatakan kepada Yesus Kristen:
“Sahabatku, saya khawatir kita tidak akan pernah
sepakat.”
Marilah kita mencoba memahami Gibran. Pertama ,
mengenai judul bukunya Jesus The Son of Man.
Gelar itu muncul 69 kali dalam Injil-injil sinoptik
(Matius, Markus, dan Lukas), justru disadarinya
tidak hanya berarti manusia biasa. Itulah gelar
eskatologis dalam nubuat Nabi Daniel, “seperti a
nak manusia”, yang diterapkan bagi sosok Mesiah
Ilahi yang akan datang (Daniel 7:13,22). Jadi,
nubuat tersebut menunjuk kepada “Manusia Masa
Depan”, yang dalam Diri-Nya menjalankan fungsi
penghakiman Ilahi, sekaligus pengejawantahan
Hamba TUHAN yang menderita, yang melemparkan
Diri-Nya sendiri dalam drama jagad raya mengenai
eksistensi manusia.
Kedua , Yesus dari Nazareth yang dipertentangkan
dengan “Yesus Kristen”. “Yesus Kristen” adalah
Yesus “ciptaan orang Kristen”, yang tidak lain
kristologi metafisik gereja dan khotbah-khotbahnya
mengenai mukjizat-mukjizat adikodrati Yesus, teta
pi justru semakin jauh dari “Yesus orang Nazareth”
yang lebih mengejawantahkan kasih kepada orang-
orang lemah dan miskin. Ini tidak berarti Gibran
menyangkal kemukjizatan Ilahi Yesus. “I have
spoken of these miracles” (Aku pernah bicara me
ngenai mukjizat-mukjizat-Nya), kata Gibran dalam
Jesus the Son of Man (1928), “which I deem but
little beside the greater miracle, which is the man
Himself (yang semua itu kecil artinya apabila
dibandingkan dengan satu mukjizat yang lebih
besar, yaitu kemanusiaan Yesus sendiri).
Satu hal lagi dari pandangan Gibran mengenai
Yesus yang kurang dipahami, yaitu ia berbicara
mengenai keilahian Yesus sebagai Sabda Abadi. “Ia
adalah Sabda Allah, Tuhan kita”, tulis Gibran, “yang
membangun rumah dari daging dan tulang, hingga
menjadi manusia seperti kita”. Jadi, serempak
dengan penekanannya pada kemanusiaan-Nya,
Gibran juga menunjuk keilahian-Nya sebagai Sabda
Allah yang kekal. Dalam bahasa Gibran gelar
Kristus lebih menunjuk kepada Sabda, sedangkan
Yesus adalah kemanusiaan yang dikenakan-Nya di
bumi. Dalam beberapa edisi Indonesia, ada kalimat
Gibran dalam Jesus The Son of Man yang
diterjemahkan secara kurang jelas:
He was Jesus the Nazarene who would lead his
brothers to The Anointed One, even to the Word
which was in the beginning with God. “Dia adalah
Yesus orang Nazareth yang akan membimbing
saudara-saudaranya kepada Dia Yang Diurapi
( Kristus ), bahkan kepada Sabda yang sejak kekal
bersama dengan Allah”.
“The Anointed One” adalah terjemahan yang lazim
dari ungkapan Mesiah atau Kristus , dan bukan
seperti dalam beberapa edisi Indonesia “satu
kemuliaan”. Jadi, Yesus orang Nazareth adalah
perwujudan Kristus, Sabda Allah yang kekal, dalam
kenisbian ruang dan waktu. “Roh itu adalah tangan
Ilahi yang Mahatahu, dan Yesus adalah harpanya”,
kata Gibran. Putera Manusia adalah model
kemanusiaan yang sempurna, yang harus diikuti
oleh semua manusia, yang adalah saudara darah
dan daging-Nya, untuk menyatukan diri dengan
Kristus. Kristus itu, tidak lain Sabda yang sejak se
mula bersama Allah.
Dengan kalimatnya yang tegas ini, Gibran
membuktikan bahwa pandangan Gibran tidak
berbeda dengan ajaran Gereja. Memang, apa yang
muncul dalam perdebatan konsili-konsili gereja
awal, sama sekali tidak bermaksud menuhankan
manusia Yesus, — yang meminjam istilah Gibran,
—“rumah daging dan tulang” yang dibangun oleh
Sang Sabda itu, melainkan mempertahankan
keilahian hypostasis-hypostasis Ilahi yang satu
dalam Allah, yaitu Sabda dan Roh Allah yang kekal
bersama Allah sendiri, dan bukan mempertuhan se-
suatu di luar Diri-Nya.
Selanjutnya, persoalan kristologis yang menyusul
tinggal bagaimana nisbah antara Sabda Ilahi dan
kemanusiaan-Nya itu, yang selalu menarik bagi
para teolog, mungkin sama sekali tidak menarik
bagi sang Penyair Lebanon itu. Sebagai seorang
pujangga Kristen, minimal ia menyarankan signifika
nsi Yesus di alam semesta dengan tamsil-tamsil,
menggunakan bait-bait dan imaji untuk me
ngungkapkan hal-hal yang tak terungkapkan.
Sebagaimana William Blake, Gibran berusaha
mendefinisikan hal-hal yang gaib dalam bentuk
yang dapat dilihat oleh mata. Maksudnya, ia
merasa lebih ekspresif mengungkapkan Yesus Sang
Putera Manusia, yang tidak berbeda dengan kita
manusia pada umumnya, untuk menemukan makna
kemanusiaan itu sendiri.
Dikutip dari Tulisan Pak Bambang Noorsena,
Penulis adalah ketua Institute for Syriac Christian Study.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar