Sabtu, 19 Juli 2014

Yesus Kristus dalam karya sastra Kahlil Gibran

Artikel Xavier Quentin Pranata, “Pujangga Pengagum Kristus Asal Libanon” (BAHANA, No. 7/ Januari 2003), menarik bagi saya. Mengapa? Karena selama ini kalangan Kristen di Indonesia sangat jarang mengenal penyair Kristen Arab dari Libanon itu. Menariknya, Gibran justru lebih dikenal di kalangan Muslim. Bulan Ramadhan kemarin, syair-syair Gibran juga muncul di layar TV di sela-sela ceramah K.H. Abdullah Gymnastiar. Episode terakhir sinetron Sephia juga ditutup dengan syair- syair cinta pujangga yang lahir dari keluarga abuna (sebutan pendeta di gereja-gereja Arab). Perlu dicatat, Gereja Maronit adalah satu di antara gereja-gereja rumpun Syria ( Syriac Christianity ), yang masih mempertahankan bahasa Aram, bahasa yang juga digunakan Kristus ( al-lughat as-Sayid al- Masih ). “Injil adalah kesusasteraan Syria”, tulis Gibran membanggakan warisan spiritual Gereja Syria itu, “…dan bahasa Syriac/Khaldea adalah bahasa yang paling indah yang dibuat manusia”. Ternyata pula, “bahasa Yesus” ini telah mem­ perdalam ekspresi dalam karya-karya Gibran. Saya memberanikan diri untuk menyebut, Gibran adalah penyair Arab terbesar yang menerima warisan Kristen Syria, setelah Mar Efraim As-Suryani (wafat 373) yang dikenal dengan “Sang Kecapi Roh Kudus”. Yasu’ al-Mashlub : Yesus Yang Disalib Kahlil Gibran bukan hanya pengagum berat Yesus orang Nazareth, tetapi juga pengikut setia-Nya sampai akhir hayatnya. Hal itu harus dikemukakan, meskipun ia sangat muak dengan hierarki gereja, yang dikritiknya habis-habisan sejak karya pertama­ nya dalam bahasa Arab: Ara’is al-Muruj (Bidadari Lembah), sampai karya terakhirnya dalam bahasa Inggris The Wanderer (Sang Musafir). Gibran mengkritik gereja dan negara, karena mereka kerasukan roh pemujaan diri, kekuasaan dan kekayaan yang tamak, segala bentuk ta’ashub (fanatisme sempit), ekstremisme dan ketidakadilan. Negara dalam hal ini, dinasti ‘Ush-maniyyah Turki “mengibarkan bendera Islam” untuk menjajah ne­ gara-negara Arab, termasuk Syria dan Libanon. Hal yang sama ironisnya juga dipraktikkan justru oleh mereka yang mengaku diri sebagai pengikut Yesus. Tetapi yang patut untuk dicatat, bahwa kritiknya yang sangat pedas dan tajam itu, khususnya dalam karyanya al-arwah al-mutamarridah (Semangat Pemberontak), justru semua itu diilhami oleh peng­ hayatannya yang mendalam pada sosok yang paling dipujanya, Yesus Sang Juru selamat. Dalam kritiknya kepada “status quo” lembaga gereja, misalnya, Gibran tidak bisa membayangkan, bagaimana kita bisa membangun gereja dan biara yang megah dengan kebun anggurnya yang luas, sementara rakyat di sekelilingnya mendiami gubuk- gubuk reot dan hidup menderita dalam kemelaratan mereka. Kesalehan ritual diserangnya tak kalah pedasnya. “Mereka mengangkat suaranya dengan himne-himne pujian, tetapi memuliakan dirinya sendiri terhadap tangisan dan rintihan pedih janda- janda dan anak-anak miskin”. Karena itu, tulis Gibran dalam al-Ajnihah al-Mutakassirah (Sayap- sayap Patah): Laa tad’u kahina ila janabi faraasyi, lianna ta’azimahu laa takfaru ‘an dzunubi in kanat khatha wa tasara’ bi ila al-janati in kanat bara. “Kamu tidak perlu mengundang pendeta untuk berdoa di samping tempat tidurmu ini, karena mantera- manteranya tidak akan kuasa menghapuskan dosa dan kesalahanku apabila aku melakukan kesalahan, dan tidak mempercepat jalanku menuju ke surga apabila aku melakukan perbuatan baik”. Kahlil Gibran menemukan kunci kebahagiaan dari ketidakberdayaan dan kemiskinan itu, justru dari Khotbah Yesus di atas Bukit: Thubi lil masakina biruh i, fainna lahum malakut as-samawat. “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena mereka akan memiliki Kerajaan surga” (Mat 5:3). Sebagai seorang pujangga dan penyair, Gibran juga menyerap semangat zaman mo-dern, tak terkecuali ia juga membaca The Life of Jesus- nya Ernest Renan, dan Zarathustra- nya Friedrich Nietzsche. Namun kekagumannya kepada Nietzsche sama sekali tidak meredupkan api cintanya kepada Yesus yang terus menyala. Pandangan “nihilisme metafisik” Nietzsche yang memproklamirkan kematian Allah itu, ternyata pada saatnya sangat mengusik jiwa religius dan rasa ketimurannya. “Hakadza takallama Zaradusyta (Demikianlah sabda sang Zarathustra)”, kata Kahlil Gibran yang toh tetap terobsesi dengan “Manusia Perkasa” ciptaan Nietzsche. Sebab bagi Gibran, “Manusia Perkasa” itu tidak lain adalah Yesus orang Nazareth. Simaklah, argumen Gibran dalam syairnya Yasu’ al-Maslub (Yesus Yang Disalibkan): Maa Aasya Yasu’a miskina kha’ufan, wa lam yamut matuja’an, bal aasya tsa’ara wa shuliba mutamaridan, wa mata jabaran. “Yesus tidak per­ nah hidup dalam kemiskinan dan ketakutan. Ia tidak pernah mati dalam penderitaan, tetapi Yesus kaya raya. Ia disalibkan sebagai seorang pahlawan perang, dan Ia wafat sebagai seorang patriot perkasa”. “Yesus sadar akan kekuatan-Nya”, tegas Gibran dalam karya Inggrisnya Jesus The Son of Man , “dan Ia telah membuktikan-Nya di antara bukit- bukit Galilea, di kota-kota Yudea dan Funisia”. Dikeluhkan pula rasa mual seolah mengocok perutnya, ketika ia mendengar orang menggambar­ kan Yesus sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya. Penekanan Kahlil Gibran bahwa Yesus sadar akan kekuatan-Nya, agaknya memang untuk menjawab bahwa “sosok Manusia perkasa” itu bukan impian Nietzsche belaka. Dia ada dan pernah hidup dalam panggung sejarah nyata. Bagi Gibran, Yesus adalah pribadi paling kuat dalam sejarah. “Hubungan Socrates dan pengikutnya lebih bersifat mental”, katanya, “tetapi para murid Yesus lebih merasakan Ia selalu hadir ketimbang sekadar meresapi ajaran- ajaran-Nya”. Itulah misteri yang terus menerus mempesona Gibran. Sebab sampai ajal menjemputnya, mungkin pujangga Libanon itu tetap tak dapat mengeja tuntas misteri tentang Dia dalam syair-syairnya. Te­ tapi ia menikmati misteri itu, bahkan tenggelam dalam samudera-Nya. “MemanggilNya Tuhan terasa menjadi enteng,” tulis Suheil Bushrui, mengutip pengalaman Gibran. Karena itu berbeda dengan Nietzsche yang di pun­ cak frustrasinya mengusir Tuhan dari hidupnya, karena dianggap menghalangi otonomi diri manusia untuk bebas dan berkuasa, sekalipun Gibran mengkritisi praktek-praktek kemunafikan dan kebejatan birokrasi gereja, dia justru semakin dekat dengan Yesus, dan ia begitu yakin bahwa Pahlawan dari Nazareth itu akan menjawab munajatnya: “Andhur ya Yasu’ an-Nashiri, al-jalisu fii qalbi da’irat al-nur al-‘aliy (“Pandanglah, O Yesus orang Nazareth, yang bersemayam di pusat cahaya tinggi),” serunya kepada Yesus dalam Yuhanna al- Majnun (Yohanes si Gila), “Andhur, ayyuhar ra’iy ash shalih, qad nah syata makhalibu wa hausyan dhulu’ al-hamala adh-dha’ifu al-dzaiy hamalatuhu ‘ala mankabaik” (Pandanglah, O Gembala Yang Baik, betapa hewan-hewan ganas itu telah mencabik-cabik tulang belulang domba-domba kurus dan lemah yang Kau panggul sendiri di kedua pundak-Mu). Pada hemat Gibran, kenikmatan berkuasa telah membuat orang bisu, tuli, dan buta terhadap penderitaan sesama. Dan itu juga berlaku di gereja. Lalu Gibran mengadukannya kepada Yesus, betapa rintihan perih orang-orang yang menderita dari sudut-sudut gelap, tak didengar oleh para mutakalim (teolog) di atas mimbar dan para penguasa yang duduk di atas singgasana mereka. “Ta’ala tsaniyati, ya Yasu’ al-Hayyi (Datanglah kembali, Oh Yesus Yang Mahahidup”, tulis Gibran selanjutnya, “wa idhrad ba’at ad dini min haikalika, faa qad ja’aluha maghlur tatawa fiiha af’aa rawaghuhum wa ih-talahum” (lemparkanlah para penjual agama itu dari Bait Suci-Mu. Sungguh, mereka telah menjadikan Bait Suci-Mu laksana lo­ rong berliku dengan ular besar menghadang, dan ular itu adalah tipuan mereka belaka.” Katakan saja Laailaha ilallah , dan engkau tetap seo­­­ rang Kristen! Ungkapan di atas ditulis Gibran dalam bukunya Iram Dzat al Imad (Iram, Kota dengan Tiang-tiang Besar). Judul ini dipinjam Gibran dari sebuah ayat dalam al-Qur’an yang menggambarkan kaum ‘Ad. Orang Kristen tak perlu takut mengucapkan Laa­ ilaha ilallah (cf. I Kor 8:4, teks Arab). Allah tidak bisa dipenjara oleh tembok-tembok pemisah agama. “Allah yang Mahabaik tidak mengenal perpecahan dalam kata-kata dan nama-nama,” kata Gibran menekankan kesatuan transendental se­ mua agama. Meskipun begitu, jiwa universalitasnya itu ternyata tidak pernah menggeser sedikit pun posisi Yesus da­ lam jiwanya, karena ia memahami kehadiran-Nya di mana-mana. Dalam bahasa para penganut filsafat perenial sekarang, Gibran telah mengalami “pas­­ sing over” (melintas batas) dalam penghayatan a­ gama. Dalam semangat mencari kebenaran yang lapang, Gibran menyelam jauh ke samudera hikmat tanpa batas. Ia mendasar Qur’an, dan bersama Ru­­ mi ia mendendangkan “agama cinta”. Bersama para yogi India ia “duduk bersila memahami Upanis­ had”. Gibran membaca dari mana saja, dan tentang apa saja. Tetapi akhirnya, ia toh “coming back” ke­ pada Yesus, Sang Pahlawan dari Nazareth itu. Mungkin, mengikuti para mistikus Kristen, dengan spiritualitasnya yang “melintas batas” itu, sang pujangga tidak lagi terlalu memandang baju, tetapi isi. Bukan simbol, tetapi hakikat. Sebagaimana ia ru­ panya memahami Kristus mahahadir secara kosmis —juga di balik simbol agama yang berbeda-beda— begitu pula ia memahami makna muslim secara generik sebagai sikap “pasrah diri, berserah kepada Ilahi”. Dan ketika kemarau kerontang menggersangkan pepohonan di “Bukit Cedar ( Araz) Tuhan,” dengarlah bagaimana ia merintih pedih dalam syairnya Mata ahli ‘alash shalib (Bangsaku telah mati di salib): “Mata ahli alash shalib, matu lianahum lam yakunu mujrimin. Matu lianahum lam yadhlumudh dhalimin, matu lianahum kanu muslimin. “Bangsaku telah mati disalib. Mereka mati bukan karena mereka menjadi penjahat. Mereka mati bukan karena mereka orang-orang-orang dzalim. Mereka mati justru karena mereka muslim, orang yang pasrah diri”. Bukankah itu substansi atau intisari agama yang sebenarnya? Ya, pasrah diri kepada Ilahi. Gibran mengangkat simbol kemusliman itu justru dari Yesus dan Jalan Salib-Nya? Baginya, salib Yesus adalah “model” sikap pasrah diri yang paling sem­ purna. Sebagai manusia ia taat kepada Bapa-Nya. “Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib” (cf. Flp. 2:6). “Bukankah Ia merentangkan tangan-Nya di atas salib demi merangkul kemanusiaan?”, tulisnya dalam Yuhana al-Majnun (Yohanes si Gila). Dan meneladani Yesus, lalu ia memproklamasikan kasih tanpa batas dan persaudaraan dengan semua orang. Menapaki Thariq al-Alam atau Via Dolorosa- Nya, Gibran merangkul semua orang sebagai saudara-saudari dalam cinta dan sebagai sesama anak-anak Allah. Jesus The Son of Man : Apakah Gibran mengakui Keilahian Yesus? Jesus The Son of Man, puncak mahakarya Gibran dalam bahasa Inggris, dapat disebut sebagai kristalisasi dari visi karya-karya Arabnya sebelumnya mengenai sosok Yesus orang Nazareth sebagai “badai yang menggelora”, yang menurut beberapa kritikus telah diilhami oleh sebuah intensitas yang melebihi bukunya The Prophet (Sang Nabi). Bagaimanakah perkembangan gagasan mengenai Yesus pada karya terakhir Gibran yang sering mengundang salah paham, khususnya penekanannya pada aspek kemanusiaan-Nya? Memang cukup sulit menyejajarkan pandangan Gibran dengan rumusan kristologi tertentu. Mengapa? Sebab Gibran berbicara soal Yesus bukan dalam “bahasa dogma” yang baku dan kaku, melainkan dengan “bahasa hati, getar lembut nurani, dan percakapan jiwa” yang selalu hidup, dan akan selalu terus mengalir, tidak pernah kering. Justru karena alasan tersebut di atas, kita tidak selalu mudah menangkap bahasa Gib-ran. Misalnya, seperti salah satu tulisannya yang pasti gampang mengundang salah paham. “Setiap seratus tahun sekali”, kata Gibran “Yesus dari Nazareth bertemu dengan Yesus orang Kristen di taman sekitar bukit Lebanon. Keduanya berbin­ cang-bincang lama, dan setiap kali Yesus dari Nazareth mengatakan kepada Yesus Kristen: “Sahabatku, saya khawatir kita tidak akan pernah sepakat.” Marilah kita mencoba memahami Gibran. Pertama , mengenai judul bukunya Jesus The Son of Man. Gelar itu muncul 69 kali dalam Injil-injil sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas), justru disadarinya tidak hanya berarti manusia biasa. Itulah gelar eskatologis dalam nubuat Nabi Daniel, “seperti a­­ nak manusia”, yang diterapkan bagi sosok Mesiah Ilahi yang akan datang (Daniel 7:13,22). Jadi, nubuat tersebut menunjuk kepada “Manusia Masa Depan”, yang dalam Diri-Nya menjalankan fungsi penghakiman Ilahi, sekaligus pengejawantahan Hamba TUHAN yang menderita, yang melemparkan Diri-Nya sendiri dalam drama jagad raya mengenai eksistensi manusia. Kedua , Yesus dari Nazareth yang dipertentangkan dengan “Yesus Kristen”. “Yesus Kristen” adalah Yesus “ciptaan orang Kristen”, yang tidak lain kristologi metafisik gereja dan khotbah-khotbahnya mengenai mukjizat-mukjizat adikodrati Yesus, teta­ pi justru semakin jauh dari “Yesus orang Nazareth” yang lebih mengejawantahkan kasih kepada orang- orang lemah dan miskin. Ini tidak berarti Gibran menyangkal kemukjizatan Ilahi Yesus. “I have spoken of these miracles” (Aku pernah bicara me­ ngenai mukjizat-mukjizat-Nya), kata Gibran dalam Jesus the Son of Man (1928), “which I deem but little beside the greater miracle, which is the man Himself (yang semua itu kecil artinya apabila dibandingkan dengan satu mukjizat yang lebih besar, yaitu kemanusiaan Yesus sendiri). Satu hal lagi dari pandangan Gibran mengenai Yesus yang kurang dipahami, yaitu ia berbicara mengenai keilahian Yesus sebagai Sabda Abadi. “Ia adalah Sabda Allah, Tuhan kita”, tulis Gibran, “yang membangun rumah dari daging dan tulang, hingga menjadi manusia seperti kita”. Jadi, serempak dengan penekanannya pada kemanusiaan-Nya, Gibran juga menunjuk keilahian-Nya sebagai Sabda Allah yang kekal. Dalam bahasa Gibran gelar Kristus lebih menunjuk kepada Sabda, sedangkan Yesus adalah kemanusiaan yang dikenakan-Nya di bumi. Dalam beberapa edisi Indonesia, ada kalimat Gibran dalam Jesus The Son of Man yang diterjemahkan secara kurang jelas: He was Jesus the Nazarene who would lead his brothers to The Anointed One, even to the Word which was in the beginning with God. “Dia adalah Yesus orang Nazareth yang akan membimbing saudara-saudaranya kepada Dia Yang Diurapi ( Kristus ), bahkan kepada Sabda yang sejak kekal bersama dengan Allah”. “The Anointed One” adalah terjemahan yang lazim dari ungkapan Mesiah atau Kristus , dan bukan seperti dalam beberapa edisi Indonesia “satu kemuliaan”. Jadi, Yesus orang Nazareth adalah perwujudan Kristus, Sabda Allah yang kekal, dalam kenisbian ruang dan waktu. “Roh itu adalah tangan Ilahi yang Mahatahu, dan Yesus adalah harpanya”, kata Gibran. Putera Manusia adalah model kemanusiaan yang sempurna, yang harus diikuti oleh semua manusia, yang adalah saudara darah dan daging-Nya, untuk menyatukan diri dengan Kristus. Kristus itu, tidak lain Sabda yang sejak se­ mula bersama Allah. Dengan kalimatnya yang tegas ini, Gibran membuktikan bahwa pandangan Gibran tidak berbeda dengan ajaran Gereja. Memang, apa yang muncul dalam perdebatan konsili-konsili gereja awal, sama sekali tidak bermaksud menuhankan manusia Yesus, — yang meminjam istilah Gibran, —“rumah daging dan tulang” yang dibangun oleh Sang Sabda itu, melainkan mempertahankan keilahian hypostasis-hypostasis Ilahi yang satu dalam Allah, yaitu Sabda dan Roh Allah yang kekal bersama Allah sendiri, dan bukan mempertuhan se- suatu di luar Diri-Nya. Selanjutnya, persoalan kristologis yang menyusul tinggal bagaimana nisbah antara Sabda Ilahi dan kemanusiaan-Nya itu, yang selalu menarik bagi para teolog, mungkin sama sekali tidak menarik bagi sang Penyair Lebanon itu. Sebagai seorang pujangga Kristen, minimal ia menyarankan signifika­ nsi Yesus di alam semesta dengan tamsil-tamsil, menggunakan bait-bait dan imaji untuk me­ ngungkapkan hal-hal yang tak terungkapkan. Sebagaimana William Blake, Gibran berusaha mendefinisikan hal-hal yang gaib dalam bentuk yang dapat dilihat oleh mata. Maksudnya, ia merasa lebih ekspresif mengungkapkan Yesus Sang Putera Manusia, yang tidak berbeda dengan kita manusia pada umumnya, untuk menemukan makna kemanusiaan itu sendiri. Dikutip dari Tulisan Pak Bambang Noorsena, Penulis adalah ketua Institute for Syriac Christian Study.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar